Tradisi Intelektual

Perkembangan Tradisi Intelektual Islam Indonesia
Kelompok-kelompok Studi Mahasiswa
Mahasiswa—sebagai salah satu komponen masyarakat terpelajar yang penting—sangat besar pengaruhnya di dalam laju pergerakan sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia moderen, mahasiswa telah terbukti berada di garda depan di dalam sejumlah proses perubahan sosial dan bahkan politik, seperti yang terjadi pada gerakan mahasiswa tahun 1966, dan yang paling mutakhir, tentu saja, gerakan reformasi—gerakan moral yang meruntuhkan kekuasaan Suharto dan pemerintahan Orde Baru.
Tradisi intelektual di kalangan mahasiswa—yang kritis, terkadang anti-kemapanan, dan independen—tidak pernah lahir begitu saja secara given. Hal ini selalu diawali dengan pergulatan pemikiran yang intensif, kritikal dan terbuka. Kemudian, pemikiran-pemikiran itu terakumulasi sedemikian rupa sehingga muncul tuntutan untuk menuangkan ide-idenya ke dalam bentuk aksi sosial seperti demonstrasi. Dalam konteks IAIN—di mana nilai-nilai keagamaan sering menjadi pertimbangan yang signifikan—atmosfir intelektualisme yang dikembangkan mungkin tidak selalu sejalan dengan tradisi intelektual yang berkembang pada kampus-kampus universitas dan Perguruan Tinggi umum.
Namun demikian, ada hal yang perlu dicatat bahwa, kelompok-kelompok studi mahasiswa—yang sering menjadi tempat penggodokan berbagai ide-ide segar mahasiswa—juga berkembang pesat di beberapa lingkungan IAIN. Akibatnya, meskipun terkadang berbeda visi dan orientasi, terdapat beberapa garis benang merah yang menghubungkan antara sesama mahasiswa tersebut. Dan, dari sini, muncul beberapa kelompok studi yang berkembang di lingkungan IAIN yang juga diakui keberadaannya oleh kelompok-kelompok lainnya.
Dari pengamatan penulis, di lingkungan kampus IAIN Jakarta terdapat beberapa kelompok studi dan diskusi mahasiswa—beberapa di antaranya cukup dikenal pada skala nasional pada akhir 80-an dan awal 90-an—seperti Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat), Piramida Circle, dan Respondeo. Di IAIN Yogyakarta, beberapa kelompok diskusi seperti al-Jami’ah pada dekade 1980-an, dan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), sangat berpengaruh di dalam kehidupan akademis mahasiswa Yogyakarta. Formaci dan al-Jami’ah sangat dikenal karena telah melahirkan banyak intelektual-intelektual muda Muslim yang progresif dan berpengaruh, yang hingga kini banyak aktif di dalam kegiatan-kegiatan akademis dan kebudayaan, khususnya untuk generasi intelektual Muslim Indonesia tahun 1980-an, seperti Saiful Mujani, Ihsan Ali Fauzi, Budhy Munawar-Rachman dan Ali Munhanif (Jakarta), Samsurizal Panggabean dan Taufik Adnan Amal (Yogyakarta).

Kemunculan berbagai Lembaga Kajian Keislaman
Munculnya fenomena kelas menengah Muslim pada dekade 80-an di Indonesia, menghadirkan fenomena yang menarik di dalam wacana keislaman. Yakni, semakin banyaknya kalangan Muslim terpelajar—yang secara kultural mereka adalah urban namun tetap memperlihatkan sikap dan komitmen mereka terhadap Islam—dan menunjukkan keinginan yang luar biasa untuk kembali mendalami ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Konsekuensinya, pengajian-pengajian yang biasanya hanya menjadi konsumsi dan praktik keagamaan masyarakat Muslim tradisional, juga menggejala di kalangan mereka. Bedanya, kalau kalangan masyarakat Islam tradisional menyelenggarakannya di mushalla, mesjid atau lapangan dengan mengundang da’i-da’i kondang, mereka mengadakan pengajian-pengajian itu di hotel-hotel berbintang, dan kantor-kantor. Fenomena ini, oleh beberapa pengamat, terkadang secara kurang hati-hati, disebut sebagai fenomena kebangkitan Islam.
Karena budaya mereka yang urban, maka pengajian-pengajian itupun dilaksanakan sesuai dengan taraf kebudayaan dan tingkat intelektualitas urban pula. Dalam konteks ini, kemunculan beberapa kelompok pengajian dan lembaga-lembaga kajian keislaman sebagai respon terhadap semakin meningkatnya minat kalangan kelas menengah ini sangat mudah dipahami. Karena sifat pendekatan Islamnya yang terbuka, inklusif dan tidak melulu indoktrinasi, beberapa intelektual dan dosen IAIN menjadi diminati untuk menjelaskan Islam yang bisa lebih sesuai dipahami dengan konteksnya.
Salah satu lembaga yang paling awal memberikan respon positif terhadap perkembangan baru ini adalah Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Lembaga yang didirikan pada 31 Oktober 1986 ini banyak diprakarsai oleh beberapa aktivis dan intelektual Muslim yang sudah dikenal baik oleh publik, seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo dan Utomo Danandjaya. Meskipun kemudian dikenal sebagai lembaga kajian keislaman kalangan Muslim modernis, Paramadina disebut sebagai lembaga, “to preach and develop the notion of an inclusive and tolerant Islam.” Dan, memang, pada awal-awal kegiatannya, Paramadina juga seringkali mengundang pembicara dari kelompok “lain” seperti dari kalangan Muslim tradisionalis NU. Tidak heran kemudian, para peserta yang hadir dalam pengajian-pengajian Paramadina memiliki latar belakang yang beragam, termasuk penganut agama lain.
Yang sering menjadi penceramah dan pembicara dalam forum-forum Paramadina ini—selain tokoh agama dan intelektual lainnya—tercatat beberapa nama seperti Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, Quraish Shihab, Din Syamsuddin, Kautsar Azhari Noer, Nasaruddin Umar, M. Amin Suma, dan Zainun Kamal—semuanya adalah dosen-dosen IAIN Jakarta. Mereka sering diundang untuk menjelaskan beberapa permasalahan keagamaan dari perspektif bidang kajiannya masing-masing. Sebagai akibatnya, pola pemahaman keagamaan mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh cara pandang dan pendekatan studi Islam yang telah sekian lama dikembangkan kalangan IAIN. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa, setidaknya dari kasus Paramadina di Jakarta, peranan orang-orang IAIN didalam mentransfer pemahaman keislaman kepada publik sangatlah signifikan.

Catatan Penutup
Perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan masyarakat Islam Indonesia tentu saja tidak terbatas kepada apa yang terjadi di dalam dinamika pemikiran kalangan terpelajar—mahasiswa, alumni dan dosen—IAIN saja, melainkan juga pada masyarakat luas lainnya. Semakin banyaknya intelektual Muslim dari kalangan kampus umum non-IAIN yang juga berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam di Tanah Air cukup membuktikan hal tersebut. Namun demikian, perubahan paradigma pemikiran keislaman yang terjadi di kalangan IAIN—seperti yang diindikasikan oleh berbagai publikasi karya-karya kalangan IAIN—berjalan seiring dengan perubahan sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, ditambah dengan munculnya dinamika akademik dan intelektual kalangan IAIN, sangat menarik untuk dicermati.
Bagi sebagian masyarakat, IAIN dikenal sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang kadang-kadang terlalu “sekuler” di dalam mengajarkan kajian keislaman. Apalagi, belakangan, khususnya pada akhir 1980-an, terdapat kecenderungan perubahan orientasi studi keislaman dengan pengiriman dosen-dosen muda IAIN ke beberapa universitas di Barat dalam jumlah yang cukup signifikan.
Kajian awal ini masih jauh dari sempurna untuk lebih memahami perubahan paradigma dan perkembangan mutakhir IAIN, dan masih diperlukan telaah-telaah lanjutan yang lebih spesifik lagi. Namun demikian, berbagai asumsi dasar dan penjelasan yang terdapat di dalam tulisan ini menunjukkan bahwa IAIN, sebagai sebuah institusi pendidikan keislaman telah mengalami berbagai perubahan baik visi maupun orientasi, yang terjadi sebagai akibat dari dinamika internal dan eksternal yang begitu intensif kalangan Muslim terpelajar Indonesia. Pengaruh-pengaruh pemikiran keislaman, baik yang berkembang di Barat dan Timur—sebagaimana yang bisa dilacak dari berbagai lulusan IAIN dari berbagai universitas di dua wilayah tersebut— dan berbagai pendekatan (metodologi) di dalam mengkaji Islam juga sangat berperan besar di telah memunculkan warna dan paradigma baru tersebut.
Setidaknya terdapat lima indikator yang diperkuat dengan beberapa bukti empiris mengenai peranan IAIN di dalam pengembangan wacana pemikiran keislaman dan intelektual Indonesia. Kelima indikator tersebut adalah: beragamnya wacana keagamaan yang dikembangkan, peningkatan jumlah sarjana, khususnya yang bergelar doktor dan master, peningkatan jumlah publikasi berupa artikel koran, jurnal ilmiah dan buku yang diterbitkan, semakin menjamurnya kelompok-kelompok studi, dan terakhir kemunculan berbagai kelompok-kelompok kajian keagamaan dan keislaman. Pengaruh IAIN di dalam hal ini utamanya bisa dilihat dalam horizon wacana pemikiran Islam yang semakin luas.

———
Dadi Darmadi adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staf peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-IAIN Jakarta, menyelesaikan S2 di Department of Religious Studies, University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat, 1998.

*) Tulisan ini berasal dan dikembangkan dari hasil penelitian saya mengenai “The Development of Religious Intellectual Discourse,” yang merupakan salah satu bab yang terdapat dalam laporan penelitian Impact on the Development and Modernization of Islam in Indonesia yang dilaksanakan pada Desember 1999-Maret 2000 oleh LPIU-IAIN Jakarta, kerjasama antara IAIN dan McGill University. Penulis mengucapkan terimakasih kepada McGill-IAIN Higher Education Project, khususnya Phil Williams, atas sponsornya dan izin penerbitan tulisan ini, teman-teman PPIM dan IAIN Jakarta, khususnya Jajat Burhanuddin atas berbagai ide awal tulisan ini, Fuad Jabali, Sirajuddin Abas, Arief Subhan, Abas al-Jauhari dan Ismatu Ropi atas berbagai informasinya. Kepada Dr. Komaruddin Hidayat (Ditperta, Depag RI) dan Bapak Chris Dagg (Simon Fraser University, BC, Canada) saya berhutang budi atas berbagai saran dan kritikannya. Namun demikian, semua isi tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Misalnya, menurut Azyumardi Azra, setidaknya dalam kurun waktu abad ke-17 dan 18, terdapat bukti yang kuat mengenai adanya pengaruh jaringan ulama Timur Tengah dan proses pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1994).
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survey Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), halaman 15.
B.J. Boland. The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), halaman 212.
Karel Steenbrink, “Menangkap Kembali Masa Lampau: Kajian-kajian Sejarah oleh Para Dosen IAIN,” dalam Mark R. Woodward (ed.). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), halaman 156-157.
Karel Steenbrink, “Menangkap Kembali”, halaman 157-158.
Lihat, Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford, England: Oneworld Publications, 1997), halaman 148.
Karel Steenbrink, “Menangkap Kembali,” halaman 158.
Ihsan Ali-Fauzi, wawancara, Tangerang: Sabtu, 11 Maret, 2000. Ihsan Ali Fauzi adalah lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan dikenal sebagai salah seorang intelektual muda Muslim generasi 80’an. Ia pernah aktif menjadi wartawan harian Republika dan penulis, penerjemah dan editor beberapa buah buku mengenai Islam dan masalah keindonesiaan. Kini ia menekuni bidang penelitian dan advokasi masalah Islam, HAM dan demokrasi di Voice Center Indonesia, Jakarta.
Istilah “mobilitas vertikal” sering digunakan dalam perspektif sosiologis untuk melihat perkembangan dan interaksi antara kelompok-kelompok masyarakat, namun dalam hal ini saya lebih merujuk kepada istilah tersebut yang sering dikemukakan Sirajuddin Abas, peneliti dari PPIM-IAIN Jakarta, khususnya untuk menjelaskan fenomena munculnya generasi baru Muslim terpelajar IAIN–yang notabene kebanyakan berasal dari kalangan santri dan pesantren secara keagamaan, dan menengah ke bawah dan pedesaan secara ekonomi dan geografis–namun bisa memunculkan diri menjadi “bagian” dari kalangan menengah perkotaan. Lihat, hasil laporan penelitian Impact on the Development and Modernization of Islam in Indonesia, khususnya pada bab “Strengthening the Islamic Education System.”
Nurcholish Madjid, wawancara, Bogor: Sabtu, Maret 11, 2000. Prof. Dr. Nurcholish Madjid adalah Doktor bidang Filsafat dan Pemikiran Islam lulusan University of Chicago, 1984. Sebelumnya ia kuliah di jurusan Sastra dan Kebudayaan, Fakultas Adab, di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan lulus pada 1968. Ia juga adalah lulusan Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang dan KMI Pondok Modern Darus Salam, Gontor, Ponorogo pada 1960. Mantan Ketua Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dua periode ini (1966-1971) kini lebih dikenal sebagai Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, di samping pengamat masalah sosial, politik dan keagamaan.
Ihsan Ali-Fauzi, wawancara.
Oleh karena pendekatannya terhadap Islam seperti ini, banyak kalangan terpelajar Muslim lainnya, utamanya mereka yang mendapatkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi negeri, menganggap kalangan IAIN telah menjadi “sekuler”.
Abd. A’la, “Islam Indonesia di Pergantian Abad dan Prospeknya,” Kompas, Jumat, 4 Februari 2000, halaman 4-5. Abd. A’la adalah doktor lulusan program S3 Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kini ia menjadi pengamat masalah sosial keagamaan dan tinggal di Sumenep, Madura.
Pandangan seperti ini sudah cukup sering dikemukakan banyak kalangan. Namun, dalam hal ini, kami mengutip penjelasan Richard G. Kraince, seorang kandidat PhD dari Ohio University yang tengah mengadakan penelitian tentang IAIN dan modernisasi pendidikan di Indonesia. Richard G. Kraince, wawancara, Jakarta, 23 Februari 2000.
Sudah sejak lama terbentuk semacam polarisasi—paling tidak merupakan identifikasi masing-masing IAIN—bahwa IAIN Jakarta adalah kampus “pembaharuan pemikiran Islam” dan IAIN Yogyakarta adalah kampus “pusat studi perbandingan agama.” Paling tidak, hal itu tetap diakui hingga masa Munawir Sjadzali dan Tarmizi Taher menjabat sebagai Menteri Agama RI.
Pada dekade 80 dan 90-an, di kalangan aktifis mahasiswa dan kelompok studi Formaci, Ciputat, misalnya sering diungkapkan perlunya pengembangan Ciputat School of Thought—mazhab pemikiran Ciputat. Istilah ini mendapatkan legitimasi yang lebih kuat dengan munculnya sebuah buku yang baru-baru ini memuat berbagai tulisan kalangan intelektual IAIN Ciputat. Lihat, Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999). Buku ini memuat berbagai tulisan sejumlah intelektual Muslim yang dikenal muncul dari Ciputat, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, Kautsar Azhari-Noer, Budhy Munawar-Rachman, Saiful Mujani, Ihsan Ali Fauzi dan Ahmad Sahal.
Untuk melihat pemikiran-pemikiran Nurcholish semasa muda, lihat buku kumpulan tulisannya, Pikiran-pikiran Nurcholish ‘Muda’: Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan, (Agus Edi Santoso, ed.) (Bandung: Penerbit Mizan, 1994). Cetakan kedua.
Berbagai tulisan kolom dan artikelnya muncul di berbagai media massa Indonesia, di samping sejumlah makalah-makalah ilmiahnya yang ia sampaikan dalam berbagai forum seminar, baik dalam maupun luar negeri. Sebagian tulisannya juga dimuat dalam buku-buku kumpulan tulisan, seperti “The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: a Participant’s Point of View” dalam Gloria Davis (ed.), What is Modern Indonesian Culture (Athens, OH: Ohio University, 1978); “Islam in Indonesia: Challenges and Opportunities” dalam Cyriac K. Pullapilly (ed.), Islam in the Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982); “In search of Islamic Roots for Modern Pluralism: the Indonesian Experiences” dalam Mark. K. Woodward, (ed.), Toward a New Paradigm, Recent Developments in Indonesian Islamic Thought (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996). Berapa bukunya yang telah terbit, antara lain, adalah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang/Obor, 1984); Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Agus Edi Santoso, ed.) (Bandung: Penerbit Mizan, 1988); Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1987/1988); Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992); Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994); Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995); Islam Agama Peradabann (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995); Dialog Keterbukaan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1997); Cendekiawan dan Religiositas Masyarakat (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1999).
Untuk uraian lengkap sejarah perkembangan pemikiran dan biografi intelektual Harun Nasution, lihat Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, 1989); Saiful Mujani, “Mu’tazilah Theology and the Modernization of the Indonesian Community: Intellectual Portrait of Harun Nasution,” Studia Islamika, No. 1, Vol. 1, 1989, halaman 91-131; Arief Subhan, “Prof. Dr. Harun Nasution Penyemai Teologi Islam Rasional,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial-Intelektual (Jakarta: Balitbang Depag dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, 1999), halaman 439-477; dan Richard C. Martin and Mark R. Woodward with Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in Islam: Mu’’azilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford, England: Oneworld Publications, 1997), khususnya pada Bagian II, “Harun Nasution and Modern Mu’tazilism,” halaman 119-193.
Untuk telaah lebih mendalam biografi Mukti Ali, lihat Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, Balitbang dan PPIM, 1998), halaman 271-319.
Arief Subhan, “Prof. Dr. Harun Nasution Penyemai Teologi,” halaman 456-458 dan 460-464.
Pandangan seperti ini, misalnya, pernah dikemukakan oleh Taufik Abdullah, salah seorang sejarawan paling terkemuka Indonesia dewasa ini, seperti yang pernah ia tulis dalam, “The Formation of a New Paradigm? A Sketch on Contemporary Islamic Discourse,” dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan tentang perkembangan studi-studi Islam di Indonesia hasil suntingan Mark R. Woodward, Toward a New Paradigm: Recent Developments in Indonesian Islamic Thought (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996), halaman 73.
Harun Nasution banyak menulis tentang teologi Islam rasional, khususnya teologi Mu’tazilah dan Muhamad Abduh. Misalnya, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972); Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987). Kedua karya ini merupakan terjemahan dari beberapa bab dari disertasi doktornya yang ia raih dari Institute of Islamic Studies, McGill University, 1968. Namun, karya Harun Nasution yang dianggap paling monumental adalah karyanya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1974). Buku ini terdiri dari dua volume.
Lihat, Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 278-284.
Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 281-284.
Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 286.
Nurcholish Madjid, wawancara.
Djohan Effendy adalah lulusan Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai salah seorang motor gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Untuk telaah mendalam atas Djohan Effendy (bersama dengan Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid), lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, (terj. Nanang Tahqiq) (Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999).
Ahmad Wahib (alm.) dikenang sebagai seorang pemikir muda Muslim yang liberal. Untuk lebih mengenal berbagai gagasan-gagasan keislamannya, lihat kumpulan catatan harian Wahib yang kemudian disunting Djohan Effendi dan Ismet Natsir, Pergolakan Pemikiran Islam, (Jakarta: LP3ES, 1981).
Kini, M. Dawam Rahardjo adalah cendekiawan Muslim yang juga Guru Besar bidang Ekonomi Pembangunan pada Universitas Muhammadiyah Malang dan Rektor Universitas Islam “45” Bekasi. Ia juga dikenal sebagai Ketua ICMI Pusat dan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), serta direktur LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat).
Ihsan Ali Fauzi, wawancara.
Nurcholish Madjid, wawancara.
Abdul Halim, mahasiswa Fakultas Tarbiyah semester XI, IAIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, wawancara, Banjarmasin, 17 Februari 2000.
Harun Nasution meraih gelar Doktor pada tahun 1968, dan Mukti Ali meraih gelar MA pada tahun 1957 dari Institute of Islamic Studies, McGill University. Lihat Arief Subhan, “Prof. Dr. Harun Nasution Penyemai,” halaman halaman 457-458, dan Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 284.
Tepatnya, Nurcholish Madjid menjadi Visiting Professor di Institute of Islamic Studies, McGill University sebagai bagian dari McGill-Indonesia Project, pada 1991-1992.
Lihat Karel Steenbrink, “Menangkap Kembali,” halaman 158.
Dr. Fazlur Rahman adalah Harold H. Swift Distinguished Service Professor di bidang kajian keislaman, University of Chicago. Beberapa intelektual Muslim ternama Indonesia yang pernah mendapatkan kesempatan belajar padanya adalah Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Amin Rais dan Dr. A. Syafi’i Ma’arif.
Lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Penerbit Mizan, 1986).
Komaruddin Hidayat adalah lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, dan meraih gelar Doktor dalam kajian keislaman dari METU, Ankara Turki. Ia melanjutkan studinya bersama dengan M. Amin Abdullah dari IAIN Yogyakarta, yang juga meraih gelar Doktor dari universitas yang sama.
Fachry Ali menamatkan BA-nya dari Fakultas Adab, pada bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam, IAIN Jakarta. Kemudian ia menamatkan program Master dari Monash University, Australia. Ia termasuk salah seorang perintis tradisi intelektual IAIN yang aktif menjadi penulis dan peneliti pada LP3ES, sebuah lembaga kajian yang paling berpengaruh di Indonesia sejak awal tahun 1980-an.
Bahtiar Effendy pernah belajar di Pesantren Pabelan, Jawa tengah, sebelum akhirnya ia melanjutkan studinya di Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta. Yang menarik, ia adalah sedikit di antara—kalau bukan satu-satunya—santri pesantren yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS antara Indonesia-Amerika, di sebuah SLTA di Columbia Falls, Montana, AS. Selanjutnya, ia meraih MA di bidang politik dari Ohio University, Athens, AS. Pada tahun 1994, ia meraih gelar Doktor di bidang yang sama dari Ohio State University, Columbus, AS dengan menulis disertasi yang berjudul, “Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia.” Untuk edisi bahasa Indonesianya, lihat Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (terj. Ihsan Ali-Fauzi) (Jakarta: Paramadina, 1998).
Saiful Mujani adalah lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, dan termasuk di antara intelektual Muslim yang berkembang pada generasi 1980-an. Sebagai peminat dan pengamat masalah sosial, agama dan politik, berbagai tulisannya tersebar di banyak media massa. Kini ia sedang menyelesaikan program S-3 di bidang Ilmu Politik, Ohio State University, AS di bawah bimbingan Prof. William Liddle. Lebih jauh mengenai biografi dan refleksi pemikirannya, lihat dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Haidar Bagir, Mencari Islam: Biografi Intelektual Generasi Muslim 1980an (Bandung: Penerbit Mizan, 1990).
Masdar F. Mas’udi adalah lulusan Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta tahun 1979 yang kemudian lebih dikenal sebagai tokoh NU dan aktifis LSM. Salah satu pokok pikirannya adalah perihal penafsiran baru terhadap persoalan zakat dan pajak. Di samping menjadi pengamat masalah sosial keagamaan, ia menjabat sebagai Direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta.
Abdul Munir Mulkhan adalah dosen IAIN Yogyakarta, dan sedang melanjutkan program S-3 di UGM. Ia dikenal sebagai penulis prolifik dengan tema-tema berkisar antara agama dan masalah sosial budaya.
Penyebutan beberapa nama di sini secara tidak terelakkan memang terkesan agak berbau bias Jakarta dan Yogyakarta, tapi tulisan mereka yang disebutkan memang sering menghiasi koran-koran nasional. Kemungkinan besar juga terdapat fenomena menarik di IAIN-IAIN daerah, dan hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Suadi Sa’ad, “Islam Menghadapi Tantangan Kemerdekaan: Pandangan Mohammed Arkoun,” Thesis MA, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995.
Muhammad Nurhakim, “Rekonstruksi Warisan Intelektual: Studi Kritis atas Paradigma Pembaharuan Pemikiran Islam Hassan Hanafi,” Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1995.
H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda: Het Kantoor Voor Inlandsche Zoken 1899-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985).
Kautsar Azhari Noer, “Wahdat al-Wujud ibn Arabi dan Panteisme,” Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993.
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1994).
Lihat Karel Steenbrink, “Menangkap Kembali,” halaman 159.
Syafiq Hasyim, “Islam dan Tantangan Kominikasi Global,” Media Indonesia, 12 Juli 1996. Syafiq Hasyim adalah lulusan Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1996. Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh muda NU yang progresif, dan bergabung dengan aktifis muda NU lainnya di Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M), Jakarta. Sebuah buku hasil suntingannya mengenai kesetaraan gender telah terbit dengan judul, Menakar Harga Perempuan (Bandung: Penerbit Mizan, 1999).
Sudirman Tebba, “Pemilu dan Umat Islam,” Republika, 5 April 1997.
Bahtiar Effendy, “Pasang Surut Ormas Islam,” Republika, 21 Febuari 1997.
Beberapa penulis yang lebih senior dari kalangan IAIN, seperti Nurcholish Madjid, Fachry Ali, dan Bahtiar Effendy sudah terlibat dengan diskusi-diskusi dalam tema ini. Namun demikian, belakangan sejumlah penulis muda juga turut aktif mendiskusikan gagasan-gagasannya di seputar topik ini. Sebagai sebuah contoh, lihat misalnya, tulisan Rumadi, “Agama Tanpa Negara,” Kompas, Jumat, 4 Februari 2000, halaman 4. Rumadi adalah mahasiswa S3 program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan peneliti pada Institute for the Study and Advancement of Civil Society, Jakarta. Sebelumnya Rumadi beberapa kali terlibat dalam diskursus terbuka mengenai kerumitan-kerumitan di seputar agama dan negara dengan beberapa penulis dan pemikir lainnya seperti Denny J.A. dan H. Ahmad Soemargono.
Azyumardi Azra adalah lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta. Kemudian dengan beasiswa Fulbright dan bantuan sponsor lainnya, ia melanjutkan studi di Departemen Sejarah, Columbia University, New York, Amerika Serikat. Salah satu karya terpentingnya adalah buku yang diterbitkan dari disertasi PhD-nya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1994).
M. Atho Mudzhar adalah lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia pernah menjabat sebagai sekretaris Menteri Agama pada jaman Munawir Sjadzali, sebelum ia akhirnya meneruskan studinya dan pada tahun 1990 meraih gelar PhD di bidang kajian keislaman dari University of California at Los Angeles, AS dengan menulis disertasi yang berjudul, “Fatwas of the Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988.” Ia juga pernah menuliskan pengalaman belajarnya sewaktu di AS dalam bukunya, Belajar Islam di Amerika (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992).
M. Din Syamsuddin adalah alumnus IAIN Jakarta dan mendapatkan gelar doktor dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS. Ia dikenal sebagai aktifis Muhammadiyah, dan pernah aktif sebagai Ketua Litbang Golongan Karya. Kini ia memangku jabatan sebagai Dirjen Binapenta, Departemen Tenaga Kerja RI.
Masykuri Abdillah adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia meraih gelar Doktor dalam bidang kajian keislaman pada tahun 1995 dari Hamburg University, Jerman dengan disertasi berjudul, “Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy 1966-1993.”
Mulyadhi R. Kartanegara menyelesaikan program doktornya di Department of Near Eastern Languages and Civilizations, University of Chicago, AS pada tahun 1996.
M. Amin Abdullah menamatkan studi S3-nya di METU, Turki. Kini ia mengajar di IAIN Yogyakarta dan dikenal sebagai intelektual dan aktifis Muhammadiyah.
Akhmad Minhaji alumnus IAIN Yogyakarta, mendapatkan gelar doktor dari IIS, McGill University tahun 1997.
Faisal Ismail adalah doktor lulusan Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, pada 1995. Untuk karyanya, lihat, “Pancasila as the Sole Basis for all Political Parties and all Mass Organizations: an Account of Muslims’ Responses,” Studia Islamika, Vol. III, No. 4, 1996.
Syafiq Mughni mendapatkan gelar doktor dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS.
Thoha Hamim meraih doktor dari IIS, McGill University tahun 1996.
Abdurrahman Mas’ud mendapatkan gelar doktor dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS tahun 1997.
A. Qodri Azizi menyelesaikan gelar doktornya dari Department of Near Eastern Languages and Civilizations, University of Chicago, AS pada tahun 1996.
Nur Ahmad Fadhil Lubis menyelesaikan program doktornya di University of California at Los Angeles, AS. Kini ia menjabat Direktur Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan. Mengenai karyanya, lihat “Institutionalization and the Unification of Islamic Courts under the New Order,” Studia Islamika, vol. II, No. 1, 1995.
Munawir Sjadzali diangkat menjadi Menteri Agama pada tahun 1983, dan menjabat sebagai pembantu Presiden di bidang keagamaan pada Departemen Agama selama dua periode. Ia adalah lulusan madrasah Mamba’ul Ulum, Surakarta, Jawa Tengah. Ia mendapatkan gelar di bidang ilmu politik dan hubungan internasional dari Georgetown University, Washington D.C., Amerika Serikat pada 1959. Sebelum menjabat Menteri Agama, beliau adalah seorang diplomat senior yang telah bergabung dengan Kementrian Luar Negeri RI selama lebih dari 30 tahun. Ia dianggap membawa pengaruh yang besar di dalam perubahan visi dan orientasi studi IAIN, sehingga lembaga ini lebih terbuka, dan bahkan menjalin kerjasama berupa pengiriman tenaga pengajar muda IAIN untuk belajar di, setidaknya, dua universitas yang terkenal dengan kajian keislaman di Barat, yaitu Leiden University, Belanda dan McGill University, Montreal Kanada. Untuk biografi tokoh ini, lihat Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, MA: Pencairan Ketegangan Ideologis,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: Balitbang Depag, PPIM dan INIS, 1998).
Zamakhsyari Dhofier, “The Intellectualization of Islamic Studies in Indonesia,” Indonesia Circle, No. 58, Juni 1992.
Lebih tepatnya, program ini disebut Zamakhsyari Dhofier dengan istilah “Pre-departure training programme for overseas post-graduate studies for IAIN graduates.” Di kalangan IAIN sendiri, program ini lebih dikenal dengan istilah “cados”—singkatan dari “pembibitan calon dosen.” Sejak dimulainya program ini pada tahun 1988 sampai 1998 telah mendidik sekitar 320 orang dosen muda (lulusan S-1) IAIN se-Indonesia yang secara sengaja dipersiapkan untuk sekolah ke luar negeri, khususnya Barat. Sejak tahun 1997-1998, program ini menerima peserta program bahasa Arab, dengan tujuan untuk disekolahkan ke Timur Tengah. Dalam perkiraan sementara, antara 40-50 per sen (sekitar 150 orang) dari mereka berhasil melanjutkan studinya ke berbagai universitas di Barat seperti McGill University (lewat kerjasama McGill-IAIN), Leiden University (lewat kerjasama IAIN-INIS Belanda), dan beberapa universitas di Inggris Raya (lewat beasiswa the British Chavening Awards), Amerika Serikat (lewat beasiswa Fulbright dan Humprey Fellowship), Jerman (beasiswa pemerintah Jerman), dan Australia (lewat beasiswa AUSaid dan ASTAS). Yang lainnya, banyak meneruskan sekolah S-2 di dalam negeri, seperti pada program pascasarjana di berbagai IAIN, atau di pelbagai Universitas Negeri seperti IPB, UI dan UGM.
Hal ini, misalnya, ditandai dengan munculnya beberapa perusahaan penerbit yang, nampaknya, secara khusus mempublikasikan buku-buku keislaman. Sejak awal tahun 1980-an, publik peminat buku di Indonesia mengenal buku-buku keislaman terbitan penerbit Mizan, Pustaka (Bandung), Shalahuddin Press (Yogyakarta), dan belakangan pada akhir 80’an dan awal 90’an, muncul juga beberapa penerbit yang turut meramaikan bursa buku-buku keagamaan dan keislaman di Indonesia, seperti LKiS (Yogyakarta), Pustaka Hidayah dan Rosda Karya (Bandung).
Lihat, Daftar Tulisan Mahasiswa, Dosen dan Alumni IAIN sejak Tahun 1995-2000 di Tujuh Media Cetak (Jakarta: Tim Peneliti Impact Study LPIU, IAIN Jakarta, 2000).
Studia Islamika adalah jurnal ilmiah yang mengkhususkan diri dalam kajian Islam Indonesia dan Asia Tenggara—Indonesian Journal for Islamic Studies—dan diterbitkan empat kali setahun oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak dipimpin oleh Dr. Azyumardi Azra pada tahun 1994, jurnal ini telah terbit secara reguler dan kontinyu dengan menampilkan berbagai tulisan berbobot di bidangnya, buah karya penulis dalam negeri dan luar negeri—sejumlah ahli Islam di Indonesia kontemporer, seperti Martin van Bruinessen (Belanda), Howard M. Federspiel, Robert W. Hefner dan John R. Bowen (Amerika Serikat), Greg Barton (Australia), dan Andrée Feillard (Perancis) telah menulis di jurnal ini. Meskipun jumlah pembacanya terbatas kepada peminat serius kajian keislaman, Studia Islamika dibaca secara cukup luas dan sering digunakan sebagai referensi, utamanya oleh kalangan mahasiswa pascasarjana IAIN. Di luar negeri, jurnal ini dilanggan oleh setidaknya 80 lembaga kajian dan universitas di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia Tenggara.
Kelompok studi Formaci dan Piramida Circle, sampai tulisan ini dikerjakan, masih tetap eksis dan para aktifisnya banyak yang berasal dari IAIN Ciputat. Menurut beberapa informasi, kelompok studi Respondeo kini sudah tidak aktif lagi. Belakangan, dalam satu tahun terakhir, muncul juga beberapa kelompok studi baru di Ciputat, seperti Makar dan ISAC (Indonesian Studies and Advocacy Center).
LKiS belakangan ini dikenal sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual muda NU, yang sangat progresif dan terkadang cenderung liberal. Sejumlah aktifis lembaga ini tercatat sebagai mahasiswa dan alumni IAIN Yogyakarta. Lembaga ini juga telah muncul menjadi salah satu pemasok buku-buku keislaman dan sosial, utamanya yang bertemakan NU, Gus Dur, civil society dan demokratisasi—sebagian tema yang menarik bagi perkembangan intelektual Islam di Indonesia. Pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo, Kediri pada akhir tahun 1999 yang lalu, beberapa anggota kelompok muda NU mengadakan semacam “muktamar tandingan” dengan menggelar diskusi dan membahas beberapa tema yang dianggap tidak mendapatkan tempat di muktamar resmi. Secara bergurau, beberapa teman muda NU menceritakan sikap antipati dari sebagian dari kalangan kiayi tua NU terhadap gerakan kultural generasi muda NU, yang menyebut LKiS bukan sebagai “Lembaga Kajian Islam dan Sosial”, tetapi “Lembaga Koq Isinya Setan.” Sebagian dari aktifitas generasi muda NU ini terekam dengan baik dalam Hairus Salim & Muhammad Ridwan, Kultur Hibrida, Anak Muda NU di Jalur Kultural (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Untuk mengkaji beberapa contoh, lihat Ihsan Ali-Fauzi dan Haidar Bagir, Mencari Islam: Biografi Intelektual Generasi Muslim 1980an. Buku ini merupakan hasil kerjasama dengan Formaci.
Untuk penjelasan yang tuntas mengenai fenomena ini, lihat M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995).
Lihat, misalnya, kritikan dari Muhammad Wahyuni Nafis, “Kebangkitan Islam, Apanya?,” Kompas, 14 Juni 1994.
Yayasan Wakaf Paramadina, 31 Oktober 1986-31 Oktober 1996: Profil 10 th (Jakarta: Paramadina, 1996).
Bahtiar Effendy, “Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia,” Ph.D Dissertation. Columbus, OH: Ohio State University, 1994, halaman 60.
Paramadina menawarkan beberapa paket kajian keislaman, baik berupa pengajian bulanan—yang sering disebut Klub Kajian Agama (KKA), dan diadakan di hotel-hotel berbintang—maupun kursus-kursus dan kuliah dengan topik bahasan tertentu, seperti Filsafat dan Peradaban Islam, Tasawuf dan pengantar studi Islam.
Salah satu jamaah (peserta) KKA yang beragama lain adalah alm. Pendeta Victor Tanja, salah seorang tokoh intelektual Protestan terkemuka.