Kisah

الإقامة في بارك سيتي

في يوم من أيام الأسبوع، وأنا ومفتاح يرتدي اللباس والاحذيه وقبعة الملابس الرياضية، وتحمل الكرة، ثم كل منا الذهاب الى الحديقة سيرا على الأقدام في الثامنة والنصف، وأنا سعيد لأنه في منهم بواسطة مفتاح الذهاب لأول مرة إلى الحديقة المدينة لممارسة الرياضة.

كلانا ابتهج ضحك مرح والمزاح على الذهاب، وشخص مع صديقتها، عندما كان في الثامنة والنصف في الصباح ونحن على حد سواء ذهب وصلت الى بارك سيتي واللعب مباشرة على الكرة ، ونحن على حد سواء لعب الكرة نحو أربعين دقيقة ثم التقيت مع صديقي وهي عبده ورزقي ثم تعرفت إلى صديقتها مفتاح ونحن نلعب الكرة معا، وثلاثة منهم معتادا على الفور ، ونحن مرهقون بعد ان لعب كرة القدم وبعد ذلك، ذهبنا جميعا إلى شراء المواد الغذائية والمشروبات بالنسبة لنا جميعا.

منذ عرضه كان مفتاح صديقي عبده مع رزقي وأصبحت مألوفة حتى أصبح من الاصدقاء المقربين لبالين وكل ثلاثة من أصدقائي لديها الكثير من الأصدقاء كارانا كلاهما يعرض بعضها البعض من اصدقائهم.

هكذا كانت مقدمة مهمة جدا في حياتنا لأن مقدمة كانت بداية علاقتنا مع الآخرين وأيضا مع مقدمات في وسعنا لمعرفة الشخص ونحن معارفه.

ESQ

 

Konsep kecerdasan yang menggabungkan tiga kecerdasan IQ, EQ, dan SQ. Kecerdasan SQ walau baru ditemukan tahun 1990, yang sesungguhnya sudah ada dalam diri manusia dan pada hakikatnya ia adalah pusat orbit dan landasan dari kecerdasan lainnya. IQ dikenal pertama kali sebagai kemampuan mengingat, menghapal dan menghitung. Dikenalkan pertama kali oleh Alfred Binnet tahun 1905, kemudian dibawa ke Stanford AS tahun 1910 sebagai standar perekrutan tentara AS dalam perang dunia ke-1. Kecerdasan kedua, EQ ditemukan oleh Daniel Goleman. Penemu emotional quotient ini berpendapa bahwa kecerdasan emosi adalah bentuk kemampuan seseorang memahami diri sendiri, orang lain, lingkungan, serta kemampuan mengambil keputusan tepat dengan cara tepat dan dalam waktu yang tepat. Dalam kenyataan IQ dan EQ saja belum cukup. Masalahnya adalah bagaimana jika seseorang memiliki IQ dan EQ inggi tetapi memiliki ambisi pribadi yang bisa merugikan orang lain? Ia tentu saja mampu mempengaruhi lingkungan, memikat hati dengan ucapan, peka mencari peluang, otak encer, tetapi semua kecakapan itu digunakan untuk mencapai ego pribadi/golongan. Disamping itu orang sukses itu, merasa kekeringan di tengah kesuksesan. Ia merasa dikejar waktu, stres, kurang dihargai. Singkatnya ia kehilangan makna (meaningless) dalam hidupnya atau spiritual pathology. (Ali Mudhofir, Kamus Etika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, April 2009. Hlm.190.)

PENILAIAN ACUAN PATOKAN DAN PENGEMBANGAN BELAJAR

Penilaian Acuan Patokan (PAP) sering digunakan untuk sistem belajar tuntas dengan alasan sebagai berikut:
1. Hasil belajar secara relatif simpel (pengetahuan atau kemampuan dasar)
2. Aspek perilaku agak terbatas (mencakup hal-hal yang penting saja)
3. Belajar adalah alamiah dari diri seseorang
4. Skor persentase benar memberikan laporan yang bermakna (menunjukkan tingkat kemajuan terhadap penguasaan materi)

Kondisi tersebut membuat lebih memperjelas dalam menetapkan ranah perilaku yang akan diujikan dan mengambil tugas belajar yang sesuai serta lebih mudah dalam membuat standar patokan.
Kesulitan menggunakan PAP pada level pengembangan belajar ini adalah adanya kesenjangan yang jauh antara siswa sehingga tidak cocok pada level ini, terlebih jika hasil belajar mereka sangat kompleks. Masalah tugas belajar sebenarnya sangat banyak dan kurangnya belajar adalah hal alami sesuai tingkat perkembangan anak. Lagipula sesuai tujuan instruksional, bahwa mencapai kemajuan adalah lebih baik daripada mendapat kegagalan, dalam hal ini ditekankan pada pengembangan pemahaman dan kemampuan secara terus menerus. Setiap siswa dimotivasi untuk selalu berusaha keras supaya mencapai hasil yang maksimal dan istimewa sesuai kemampuannya daripada hanya tuntas dalam beberapa materi. Jika terjadi demikian, maka penskoran dengan persentase menjadi ambigu. Walaupun penafsiran skor dalam PAP berbeda dalam sistem belajar tuntas, namun PAP ini dapat membantu untuk penafsiran berdasarkan rangking siswa.
Tujuan pembelajaran berikut menggambarkan sifat hasil belajar pada level pengembangan.
1. Memahami konsep dan prinsip
2. Menerapkan konsep dan prinsip pada situasi yang baru
3. Menggunakan pendekatan saintifik dalam memecahkan masalah
4. Mempertunjukkan kemampuan analisis matematis
5. Menulis secara kreatif cerita singkat
6. Mempertunjukkan kemampuan berpikir kritis
7. Mengevaluasi secara cukup percobaan yang diberikan
8. Menunjukkan keahlian memainkan alat-alat musik

Sebagai catatan, siswa tidak dapat dipaksa untuk mendapatkan hasil yang diharapkan secara paksa, akan tetapi kita hanya dapat mengharapkan beberapa perkembangan yang nantinya mengarah kepada tujuan. Terlebih lagi tidak akan mungkin bagi kita untuk mengidentifikasi perilaku khusus dalam kelas yang kompleks, walaupun kita bisa melakukan, namun pengukuran setiap perilaku khusus tersebut akan sama dengan yang lain. Oleh karena itu, kita harus fokus pada tipe hasil belajar siswa yang menunjukkan perkembangan ke arah tujuan instruksional.

Membatasi Wilayah yang akan Diujikan
Sebagai mana penilaian belajar tuntas, maka pada tingkat pengembangan belajar ini sebisa mungkin wilayah yang akan diujikan dibatasi, keculai untuk ujian akhir di mana tes harus dibatasi sesuai dengan materi pelajaran. Hal tersebut akan membuat kemungkinan mengukur ranah perilaku secara baik tanpa memperlama waktu tes.

Penetapan Hasil Belajar
Cara menetapkan tujuan pembelajaran dalam ranah perilaku pada tingkat perkembangan ini sama dengan yang digunakan pada sistem belajar tuntas. Perbedaannya terletak pada perbandingan hasil belajar yang khusus. Pada sistem belajar tuntas ranah, perilaku dibatasi secara tipikal di mana ukuran tugas belajar khusus dapat diidentifikasi, sedangkan pada tingkat perkembangan belajar ini, hasil belajar siswa dapat bisa dibatasi oleh sampel yang telah didapat dan sesuaikan dengan tujuan instruksional. Hal yang perlu untuk kita adalah data komprehensif yang menggambarkan tentang kebutuhan siswa untuk mencapai tujuan dan hasil belajar yang menggambarkan tingkat kekhususan siswa dalam menetapkan hasil pada tingkat perkembangan ini (untuk contoh yang lain, lihat Gronlund, 1970).

Memahami Prinsip Saintifik
1. Menyatakan prinsip dengan kata-katanya sendiri
2. Mengidentifikasi contoh prinsip
3. Mengidentifikasi hubungan antara dua prinsip
4. Memprediksi hasil berdasarkan prinsip
5. Membuat hipotesis yang sesuai dengan prinsip
6. Membedakan antara penerapan yang benar dan salah pada prinsip
Walaupun hasil belajar dapat dimasukkan dalam tujuan pembelajaran, namun keenam prinsip pemahaman di atas memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “pemahaman prinsip ilmiah”. Kita beranggapan bahwa kemampuan seorang siswa pada tugas-tugas yang khusus, maka hal tersebut menunjukkan bahwa ia akan melakukannya pada tugas-tugas yang lain.
Kecukupan data hasil belajar untuk setiap tujuan dapat dibedakan dengan pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah setiap hasil belajar mencakup ranah perilaku?
2. Apakah setiap hasil belajar relevan dengan tujuan?
3. Apakah setiap hasil belajar menyediakan contoh representatif tentang perilaku yang sesuai dengan tujuan
Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung pada individu masing-masing, namun sejumlah pertanyaan tersebut dapat membantu untuk memfokuskan perhatian pada PAP ketika mengevaluasi hasil akhir.
Apabila kita ingin melaporkan kemampuan siswa dalam tugas-tugas yang diberikannya atau ingin mengetahui posisi kemampuan dirinya dalam kelas, maka perhatian serius sangat dibutuhkan untuk mendapatkan sampel yang representatif.
Pada tahap perkembangan belajar ini ada tiga faktor yang meningkatkan kesulitan mendapatkan sampel yang memadai, yaitu:
1. Tidak mungkin atau sulitnya menargetkan perolehan siswa yang baik pada wilayah khusus.
2. Kita hanya mampu mengukur sampel yang sangat terbatas dari beberapa tugas khusus yang diasumsikan masuk dalam wilayah khusus.
3. Kita hanya dapat mengukur tingkat kemajuan daripada mengukur penguasaannya.
¬¬
Salah satu metode untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di atas adalah dengan membuat setiap tujuan menjadi titik pokok penyusunan tes dan interpretasi tes. Hal ini berarti dengan memasukkannya ke dalam tabel spesifikasi yang mendetail untuk setiap tujuan umum, penyusunan seperangkat item tes yang memuat semua hasil belajar yang memadai untuk setiap tujuan, termasuk item tes yang memiliki tingkat kesulitan dari yang mudah sampai yang sulit dan menggambarkan kemampuan tes siswa secara objektif daripada hanya sekedar menjumlah skor siswa.
Hal mendetail yang dimasukkan ke dalam tabel spesifikasi pada level pengembangan tergantung luasnya wilayah yang akan diujikan. Dengan pembuatan tes yang sesuai dengan tabel II dan pengelompokkan item dalam tes secara obyektif, kita dapat melakukan interpretasi yang tidak bisa dilakukan dengan cara yang lain. Sebagai contoh, kita melaporkan bahwa ada seorang siswa yang memiliki pemahaman terhadap istilah, fakta-fakta dan konsep, tetapi ia lemah pada pemahaman prinsip dan prosedur. Laporan yang mendetail bisa kita dapatkan dengan menganalisa kemampuan siswa pada hasil belajar tertentu. Jadi kita mungkin menulis bahwa seorang siswa dapat mengatakan prinsip dengan kata-katanya sendiri, tetapi dia tidak dapat mengidentifikasi contoh prinsip atau memprediksi hasil dari prinsip.

Tabel II. Tabel spesifikasi untuk 100 item tes pada Pelajaran Umum
Tujuan Pembelajaran Pemahaman pada
Materi Istilah Fakta konsep Prinsip prosedur Total item
Biologi 5 5 6 7 7 30
Kimia 4 3 4 5 4 20
Fisika 3 3 3 3 3 15
Astronomi 3 3 3 3 3 15
Ilmu Bumi 3 4 4 4 5 20
Jumlah 18 18 20 22 22 100

Menentukan Standar Kemampuan
Menentukan standar kemampuan pada level perkembangan sangat berisiko jika memiliki sedikit petunjuk. Pada level perkembangan ini, kita berharap siswa menunjukkan perkembangan yang berkesinambungan, sehingga penguasaan materi secara penuh bukan menjadi standar baku. Seberapa besar kemajuan para siswa untuk memperoleh tujuan tertentu tergantung pada umur, kemampuan belajar, efektifitas pembelajaran dan tingkat kesulitan tes. Oleh karena sulitnya mengukur secara tepat kemajuannya, maka kita hanya dapat menentukan pengukurannya secara umum.
Kekurangan ketentuan standar jelas untuk mengevaluasi tes kemampuan pada level perkembangan ini menjadikan kita menggunakan interpretasi acuan norma, yakni di mana posisi seorang siswa dalam suatu kelompok. Hal ini bukan berarti kita hanya menggunakan acuan norma saja, akan tetapi acuan patokan bisa kita kombinasikan. Dengan menggabungkan dua tipe interpretasi ini, kita dapat memperoleh gambaran dari kemampuan belajar siswa. Harapanya, prosedur ini akan lebih cepat untuk mengetahui kemampuan siswa pada setiap obyek, sehingga standar kemampuan siswa dapat dibuat untuk kelompok selanjutnya. Seperti pengalaman pada masalah pembelajaran khusus, maka memungkinkan juga membuat standar kemampuan nonmastery dengan menggunakan kebenaran persentase (contohl kebenaran persentase 60), tentunya semuanya harus dapat dinalar dan dikerjakan dengan mudah untuk setiap tujuan pembelajaran.

Menyiapkan Soal Tes
Persiapan pembuatan soal tes pada level perkembangan sama dengan yang dilaksanakan pada level penguasaan. Obyek soal di tetapkan dengan pertimbangan-pertimbangan hasil belajar, garis besar materi, membuat tabel spesifikasi dan juga item tes ditulis sesuai tabel spesifikasi.
Perbedaan utama penyusunan tes pada level penguasaan (mastery) dengan level perkembangan (developmental) bisa dilihat dari tingkat kesulitan item tes. Maksudnya, kesulitan item tes pada level penguasaan ditentukan oleh sifatnya, yakni harus dikuasai, jika tugasnya sederhana, maka item tes juga sederhana dan jika tugas agak sulit, maka item tes juga agak sulit. Tes pada level penguasaan (mastery learning), mengharapkan semua siswa bisa mendapatkan hasil yang sempurna atau mendekati sempurna. Sedangkan tes pada level perkembangan, membutuhkan item tes yang kesulitannya variatif untuk setiap obyek. Pada level ini di mana penguasaan penuh tidak mungkin dilakukan, maka kita membutuhkan kesulitan item yang standar supaya dapat melaporkan tingkat kemajuan siswa terhadap setiap obyek (interpretasi acuan patokan) dan posisi temannya secara jelas dalam suatu kelompok (interpretasi acuan norma).
Dalam beberapa kasus kisaran kesulitan item diperoleh dengan membandingkan kesulitan materi pembelajaran dengan respon siswa. Jadi, siswa mungkin diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman konsep atau materi yang susah (kompleks).
Pada level perkembangan, kita tertarik pada belajar siswa seberapa ia kuasai materi inti. Jadi, kemudahan dibutuhkan untuk menggambarkan kemampuan siswa. Kecuali untuk sedikit item yang mudah pada awal tes untuk tujuan motivasi, item tes harus berkisar antara tingkat kesulitan 95 persen sampai tingkat kesulitan 5 persen. Hal ini memungkinkan siswa mendemonstrasikan tingkat kemampuan yang dia raih berdasarkan penguasaannya.
Untuk mendapatkan kisaran tingkat kesulitan, seseorang tidak boleh membuat kesulitan dengan menggunakan materi yang tidak dikenal atau tidak jelas atau dengan cara lain yang membuat penilaian hasil tes kurang valid. Kesulitan item harus dihasilkan dari kompleksitas materi yang sudah diberikan ketika proses pembelajaran atau dari reaksi siswa ketika proses pembelajaran.

Ringkasan Perbandingan Tes pada Level Penguasaan dan Pengembangan
Tes acuan patokan lebih banyak digunakan dalam pembelajaran dalam kelas di mana hasil belajar relatif sederhana dan penguasaan adalah standar kemampuan yang diukur. Sehingga hasil belajar menjadi kompleks dan setiap siswa dimotivasi untuk mencapai hasil yang maksimal sesuai dengan kemampuannya.
Saat ini, cara terbaik untuk mengukur perkembangan siswa terhadap tujuan belajar bukan penguasaan materi adalah dengan menyusun tes acuan norma. Persamaan dan perbedaan antara acuan penguasaan patokan dan tes pada tahap pengembangan diringkas dalam tabel III berikut:

Tabel III. Ringkasan Perbandingan Tes Acuan Penguasaan Patokan
dan Tes pada Level Pengembangan

Tes Acuan Penguasaan Patokan Tes pada Level Pengembangan
Tujuan Mengukur penguasaan materi minimum Mengukur tingkat prestasi berdasarkan penguasaan materi minimum
Tipe Tugas Pembelajaran Kemampuan dasar dan pengetahuan sederhana sebagai prasyarat pembelajaran selanjutnya. Kemampuan minimal dibutuhkan untuk melaksanakan beberapa tugas penting yang efektif Kompleksitas tipe prestasi yang tergantung pada pola respon integral yang dapat diukur dengan unit fungsi total (pemahaman, aplikasi, kemampuan berfikir)
Sifat Belajar Belajar adalah keseringan (pembiasaan). Tugas-tugas khusus dapat dipelajari secara terpisah dan didefinisikan dalam hasil yang jelas Belajar adalah jarang. Kompleksitas hasil belajar tergantung dari jumlah pengaruh dari beberapa pengalaman belajar yang terorganisasi dan terintegralisasi dalam banyak cara
Sifat Obyek Pembelajaran Obyek dibatasi untuk hasil belajar yang secara penuh dapat dikuasai Obyek memberikan arahan kepada tujuan yang tidak akan pernah dicapai
Spesifikasi hasil belajar spesifik Ranah perilaku yang terbatas membuat kemungkinan mendefinisikan ranah secara jelas. Biasanya jumlah yang banyak dari hasil belajar dapat diidentifikasi untuk setiap obyeknya Ranah perilaku tidak terbatas membuat pendefinisian yang lengkat tidak mungkin dilakukan. Hanya sejumlah kecil hasil belajar yang dapat diidentifikasi untuk setiap obyeknya
Membuat tabel spesifikasi Membatasi unit pembelajaran dan memasukkan semua atau hampir semua materi belajar dan wilayah materi yang dapat diukur Membatasi wilayah pembelajaran yang didefinisikan secara jelas dan memasukkan sampel yang representatif dari hasil belajar dan wilayah materi yang dapat diukur
Menetapkan standar kemampuan Dengan sewenang-wenang menetapkan level penguasaan pada 85% benar dan mengatur tinggi rendahnya sesuai dengan acuan Menggunakan penafsiran acuan norma dan mengembangkan perkiraan standar nonmastery dari pengalaman mengajar dan menguji
Menyusun item tes Mencocokkan item yang sulit dengan tugas yang sulit supaya dapat diukur dan mengikuti aturan standar penyusunan item Mendapat kisaran item yang sulit untuk setiap obyek dan mengikuti aturan standar penyusunan item
Pelaporan hasil tes Menunjukkan tingkat penguasaan setiap obyek atau unit pembelajaran dengan menggunakan skor persentase benar dan mengklasifikasikan kemampuan yang menguasai dan yang tidak menguasai Menunjukkan tingkat kemajuan yang relatif terhadap setiap obyek dengan menggambarkan kemampuan (atau menggunakan skor persentase benar), dan menunjukkan relativitas tingkat kemampuan dengan menunjukkan posisi dalam kelompok secara jelas

HITUNGAN DALAM BAHASA ARAB

http://nahwusharaf.wordpress.com/category/kitab-alfiyah-ibnu-malik/bab-badal/

Bilangan/Hitungan dalam Bahasa Arab (‘Adad dan Ma’dud/Tamyiz-nya, Mudzakkar dan Mu’annats-nya, Mufrad dan Jamak-nya) » Alfiyah Bait 726-723-724

15 September 2012 Ibnu Toha Tinggalkan Komentar Go to comments

–·•Ο•·–

العدد

Bab ‘Adad (Bilangan/Hitungan)

ثَلَاثَةً بِالتَّاءِ قُلْ لِلعشَرَهْ ¤ فِي عَدِّ مَا آحَادُهُ مُذَكّرَهْ

Ucapkan angka Tsalatsatun (tiga) sampai ‘Asyarotun (sepuluh) dg menggunakan Ta’ didalam menghitung sesuatu yg mufrodnya Mudzakkar. 

في الضِّدِّ جَرِّدْ وَالْمُمَيِّزَ اجْرُرِ ¤ جَمْعاً بِلَفْظِ قِلَّةٍ فِي الأكْثَرِ

Sebaliknya buanglah Ta’nya (pada mufrod ma’dud muannats). Jarkanlah! Lafazh Mumayyiz/Ma’dud yg jamak qillah pada kebanyakannya (daripada yg jamak katsrohnya). 

وَمِائَةً وَالأَلْفَ لِلْفَرْدِ أضِفْ ¤ وَمِائَةٌ بِالجَمْعِ نَزْراً قَدْ رُدِفْ

Terhadap angka Mi’atun (seratus) dan Alfun (seribu) mudhafkan pada Isim Mufrod. Dan angka Mi’atun (seratus) jarang diikuti oleh Jamak (jarang dimudhafkan pada jamak). 

–·•Ο•·–

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Isim Adad (kata bilangan/hitungan) menurut istilah Ulama’ Nahwu terbagi menjadi 4 bagian.

1. “Adad Mufrad”
Adalah Isim Adad yg kosong dari Tarkib dan ‘Athaf. Yaitu bilangan dari Wahidun (satu) sampai ‘Asyarotun (sepuluh), Bidh’un (sejumlah antara 3-9), Mi’atun (seratus), dan Alfun (seribu).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mudhaf” karena dapat dimudhafkan pada Tamyiznya/Ma’dudnya, yang selain wahidun (satu) dan Itsnani (dua).

2. “Adad Murakkab”
Adalah Isim Adad susunan dua bilangan menjadi satu dengan susunan Tarkib Mazji. Yaitu bilangan dari Ahada ‘Asyaro (sebelas) sampai Tis’ata ‘Asyaro (Sembilan belas).

3. “Adad ‘Aqd”
Adalah Isim Adad puluhan/kelipatan sepuluh. Yaitu bilangan dari ‘Isyruuna (dua puluh) sampai Tis’uuna (sembilan puluh).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mufrod” karena tidak Mudhaf juga tidak Murokkab.

4. “Adad Ma’thuf”
Adalah Isim Adad susunan Athaf. Yaitu bilangan yg ada diantara dua Adad Aqd (angka yg ada diantara 20>…<30, 30>…<40, dst.). Contoh Wahidun wa ‘Isyruuna (dua puluh satu), Itsnaani wa Isyruuna (dua puluh dua), dst. Hingga Tis’atun wa Tis’uuna (sebilan puluh Sembilan).

Insyaallah 4 bagian diatas akan diterangkan menurut penerangan Kitab Alfiyah pada tiga bahasan sebagai berikut:

  • Hukum Mudzakkar&Muannatsnya
  • Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya
  • Hukum I’robnya

I. ‘ADAD MUFROD

A. WAHIDUN (SATU) dan ITSNAANI (DUA)

I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : harus mencocoki pada Ma’dudnya.

Contoh:

في القرية مسجد واحد

FIL-QORYATI MASJIDUN WAAHIDUN = Di desa itu hanya ada satu masjid.

في القرية مدرسة واحدة

FIL-QORYATI MADROSATUN WAAHIDATUN = Di desa itu hanya ada satu Madrasah.

اشتريت كتابين اثنين

ISYTAROITU KITAABAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua kitab.

اشتريت كراستين اثنتين

ISYTAROINI RURROOSATAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua buku tulis.

II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : harus disebutkan setelah ma’dudnya seperti contoh-contoh diatas. Dan tidak boleh menyebutkan ma’dud sebelumnya, maka tidak boleh mengatakan :

في القرية واحدُ مسجدٍ

FIL-QORYATI WAAHIDU MASJIDIN.

اشتريت اثني كتابين

ISYTAROITU ITSNAIY KITAABAINI.

Karena cukup penyebutan ma’dud secara langsung sudah mencukupi jumlah yg dimaksud (mufrad/mutsanna = satu/dua). Maka tidak perlu untuk menyebut ‘adad pada sebelum ma’dudnya.

III. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam. Sedangkan I’rob ma’dudnya mengikuti irob ‘adad sebelumnya yakni sebagai Tabi’ Taukid.

B. TSALATSATUN (TIGA) sampai ‘ASYAROTUN (SEPULUH) dan BIDH’UN/BIDH’ATUN (sejumlah 3-9)

I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : kebalikan dari ma’dudnya, yakni dimudzakkarkan apabila ma’dudnya mu’annats, dan dimuannatskan apabila ma’dudnya mudzakkar,.

Contoh :

عندي سبعةُ رجال

INDIY SAB’ATU RIJAALIN = disisiku tujuh pria.

عندي ثلاثُ نسوةٍ

INDIY TSALAATSU NISWATIN = disisiku tiga wanita.

صافحت بضعة رجال

SHOOFAHTU BIDH’ATA RIJAALIN = aku berjabat tangan dengan beberapa pria.

نصحت بضع نساء

NASHOHTU BIDH’A NISAA’IN = aku menasehati beberapa wanita.

Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا

SAKHKHOROHAA ‘ALAIHIM SAB’A LAYAALIN WA TSAMAANIYATA AYYAAMIN HUSUUMAN = yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus (QS Al-Haaqqah : 7)

>> lafazh LAYAALIN = Ma’dud mu’annats karena mufrodnya LAILATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar SAB’A.
>> lafazh AYYAAMIN = Ma’dud mudzakkar karena mufrodnya YAUMIN, maka menggunakan ‘adad muannats TSAMAANIYATA.

فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ

FA SYAHAADATU AHADIHIM ARBA’U SYAHAADAATIN = maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah (QS. An-Nuur : 6)

ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

TSUMMA LAM YA’TUU BI ARBA’ATI SYUHADAA’A = dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi (QS. An-Nuur : 4)

>> lafazh SYAHADAATIN = ma’dud mu’annats karena mufrodnya SAHAADATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar ARBA’U.
>> lafazh SYUHADAA’A = ma’dud mudzakkar karena mufrodnya SYAAHIDUN/SYAHIIDUN, maka menggunakan ‘adad mu’annats ARBA’ATI.

Dengan demikian, yang dipandang mudzakkar dan muannatsnya dalam hal ini bukan pada bentuk lafazh jamaknya, akan tetapi yg dipandang adalah bentuk isim mufrodnya. contohnya lagi :

جاء خمسة فتية

JAA’A KHOMSATU FITYATIN = lima orang pemuda telah datang.

>> Lafazh “FITYATIN” mempunyai bentuk mufrod “FATAA” adalah ma’dud mudzakkar, makanya menggunakan ‘adad mu’annats (KHOMSATU). Tidaklah memandang bentuk lafazh jamaknya yg mu’annats (FITYATIN).

Apabila terdapat dua ma’dud dalam satu ‘adad. Yang satu mudzakkar dan yg lain muannats, maka yg dipandang muannats dan mudzakkarnya adalah pada ma’dud yg disebut pertama kali.

Contoh:

حضر سبعة رجال ونساء

HADHORO SAB’ATU RIJAALIN WA NISAA’IN = tujuh orang pria dan wanita telah hadir.

وأقبل خمس نساءٍ ورجال

AQBALA KHOMSATU NISAA’IN WA RIJAALIN = lima orang wanita dan pria telah menghadap.

Akan berbeda nanti hukum mudzakkar dan mu’annatsnya apabila adad-adad mufrad tersebut diatas dibentuk menjadi ‘Adad Murokkab atau ‘Adad Ma’thuf yg insyaAllah akan dijelaskan pada bait-bait selanjutnya.

II. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam.

III. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya :

A. Dijadikan mudhaf ilaih dg susunan idhofah, yakni memudhofkan adad kepada ma’dud yg dibutuhkan sebagai tamyiznya, seperti pada contoh-contoh diatas. Dan terkadang tidak dimudhofkan kepada tamyiznya tapi cukup dimudhofkan langsung kepada siempunya tamyiz/ma’dud. Kerena dalam hal ini si pembicara sudah memaklumi akan jenis/bentuk ma’dud. Sehingga tidak perlu ditamyizi. Semisal contoh:

هذه خمسةُ محمد

HADZIHI KHOMSATU MUHAMMADIN = ini adalah limanya Zaid (yakni, ini lima barang punya zaid)

خذ سبعتك

KHUDZ! SAB’ATAKA = ambillah! Tujuhmu. (yakni, ambilah tujuh barangmu)

B. Ma’dudnya berbentuk jamak, yg sering digunakan adalah dalam bentuk Jamak Taksir Qillah. Dan diketahui juga bahwa maksud jamak dalam ma’dud di sini tidak harus berupa bentuk jamak dalam istilah, tapi juga bisa masuk kepada semua jenis isim yg menunjukkan jamak, seperti Isim Jamak dan Isim Jinsi Jam’i, yg dalam penggunaannya banyak menyertakan huruf jar MIN. contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ

FA KHUDZ! ARBA’ATAN MINATH-THOIRI = ambillah empat ekor burung (QS. Al-Baqoroh : 260)

جاء ثلاثة من القوم

JAA’A TSALAATSATUN MINAL QOUMI = telah datang tiga kaum.

في المزرعة سبع من النخل وتسع من الشجر

FIL MAZRO’ATI SAB’UN MINAN-NAKHLI WA TIS’UN MINAS-SYAJARI = di ladang itu ada tujuh pohon kurma dan Sembilan pepohonan.

Terkadang juga langsung disusun secara idhofah. Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ

WA KAANA FIL-MADIINATI TIS’ATU ROHTHIN = Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki (QS. An-naml:48).

Yang berbeda dengan tiga hal diatas dalam hukum penggunaan ma’dudnya yakni : 1. Jamak. 2. Jamak Taksir. 3. Jamak Taksir Qillah. Adalah :

1. Menggunakan bentuk isim mufrod, apabila adad-adad tersebut diatas bertamyiz pada lafazh MI’ATUN. Contoh :

في المعهد ثلثمائة طالب وأربعمائة مقعد

FIL-MA’HADI TSALATSUMI’ATI THOOLIBIN WA ARBA’UMI’ATI MAQ’ADIN = di lembaga itu ada 300 siswa dan 400 bangku.

2. Menggunakan bentuk jamak shohih, apabila tidak terdapat dalam bentuk jamak taksirnya. Contoh:

خمس صلوات

KHOMSU SHOLAWAATIN = lima sholat.

Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

ALLAHUL-LADZII KHOLAQO SAB’A SAMAAWAATIN WA MINAL-ARDHI MITSLAHUNNA = Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi (QS. Ath-Tholaaq : 12)

>> Lafazh “SAMAWAATIN” = menggunakan jamak shohih (jamak muannats salim) karena tidak mempunyai bentuk jamak lain selain itu.

ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَّكُمْ

TSALAATU ‘AUROOTIN = tiga ‘aurat bagi kamu (QS. An-Nur : 58)

>> lafazh “‘AUROOTIN” = jamak shohih sebab juga tidak ada dalam bentuk jamak taksirnya.

Demikian juga menggunakan jamak shohih, apabila bentuk jamak taksirnya jarang digunakan. Semisal contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فِي تِسْعِ آيَاتٍ

FII TIS’I AAYAATIN = termasuk sembilan buah mukjizat (QS. An-Naml : 12)

>> lafazh “AAYAATIN” = jamak shohih dari “AAYATIN” ditemukan dari bangsa arab menggunakan jamak taksirnya yaitu AAYUN tapi tidak banyak digunakan (lihat Al-Mishbahul Munir hal. 23).

Demikian juga menggunakan bentuk jamak shohih apabila digunakan bersamaan dengan jamak yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, seperti contoh:

يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ

YUUSUFU AYYUHASH-SHIDDIIQU AFTINAA FII SAB’I BAQOROOTIN SIMAANIN YA’KULUHUNNA SAB’UN ‘IJAAFUN WA SAB’I SUNBULAATIN KHUDHRIN WA UKHORU YAABISAATIN = (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering (QS. Yusuf : 46)

>> lafazh SAB’I “SUNBULAATIN” = menggunakan jamak shohih karena berdampingan dengan lafazh sebelumnya yaitu SAB’I “BAQOROOTIN” yg tidak diketahui bentuk jamak taksirnya.

Sedangkan apabila tidak berdampingan dengan jamak shohih yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, maka menggunakan bentuk jamak taksirnya yaitu “SANAABILA”, contoh dalam Ayat :

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ

MATSALUL-LADZIINA YANFIQUUNA AMWAALAHUM FII SABIILILLAAHI KAMATSALI HUBBATIN ANBATAT SAB’A SANAABILA FII KULLI SUNBULATIN MA’ATU HABBAH. = Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. (QS. Al-Baqoro : 261).

3. Tetap menggunakan bentuk Jamak Taksir Katsroh sekalipun ada dalam bentuk Jamak Taksi Qillahnya, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

WAL-MUTHOLLAQOOTU YATAROBBASHNA BI ANFUSIHINNA TSALAATSATA QURUU’IN = Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS. Al-Baqoroh : 228)

>> ‘Adad TSALAATSATA dimudhofkan kepada ma’dudnya lafazh “QURUU’IN” yg berupa Jamak Taksir Katsroh, beserta ia mempunyai bentuk Jamak Taksir Qillah yaitu “AQROO’IN”.

C. MI’ATUN (SERATUS) dan ALFUN (SERIBU)

I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : Tetap dalam bentuknya baik ma’dudnya Mudzakkar atau Mu’annats.

II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : Pada umumnya harus berupa Isim Mufrod yg dijarkan menjadi mudhaf ilaih.

Contoh :

قلَّ من يعيش مائة سنةٍ

QOLLA MA YA’IISYU MI’ATA SANATIN = Jarang orang yg hidup seratus tahun.

Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

AZZAANIYATU WAZ-ZAANIY FAJLIDUU KULLA WAAHIDIN MINHUMAA M’ATA JALDATIN = Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. An Nuur : 2)

يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ

YAWADDU AHADUHUM LAW YU’AMMARU ALFA SANATIN = Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun (QS. Al-Baqarah : 96)

Terkadang menggunakan ma’dud/tamyiz bentuk jamak majrur dari ‘adad MI’ATUN, contoh dalam Ayat AL-Qur’an :

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

WA LABITSUU FIY KAHFIHIM TSALAATSA MI’ATIN SINIINA WAZDAADUU TIS’AN = Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). (QS. Al-Kahfi 25).

>> karena dalam ayat ini oleh bacaan salah satu qiro’ah sab’ah (Hamzah dan Al-Kasa’iy) memudhofkan lafazh MI’ATIN pada lafazh SINIINA menjadi “MI’ATI SINIINA”.

 

TIUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

BAB I

DEFINISI PENDIDIKAN

1.1.Definisi Pendidikan Secara Umum

Definisi pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah :

Ø Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.

(A. Yunus, 1999 : 7)

Ø Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.

(A. Yunus, 1999 : 7)

Ø Menurut Frederick J. Mc Donald, pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang.

(A. Yunus, 1999 : 7-8)

Ø Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.

(A. Yunus, 1999 : 8)

1.2.Definisi Pendidikan Menurut Islam

Ø Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.

(Nur Uhbiyati, 1998)

Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).

Ø Ruang Lingkup Pendidikan Islam

1. Pendidikan Keimanan

“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberikan pelajaran kepadanya:”hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesengguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang nyata.” (Q.S 31:13)

Bagaimana cara mengenalkan Allah SWT dalam kehidupan anak?

* Menciptakan hubungan yang hangat dan harmonis (bukan memanjakan)
Jalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, bertutur kata lembut, bertingkah laku positif.
Hadits Rasulullah : “cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka…:” (H.R Bukhari)
“Barang siapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia turut berlaku kekanak-kanakkan kepadanya.” (H.R Ibnu Babawaih dan Ibnu Asakir)
* Menghadirkan sosok Allah melalui aktivitas rutin

Seperti ketika kita bersin katakan alhamdulillah. Ketika kita memberikan uang jajan katakan bahwa uang itu titipan Allah jadi harus dibelanjakan dengan baik seperti beli roti.

* Memanfaatkan momen religious

Seperti Sholat bersama, tarawih bersama di bulan ramadhan, tadarus, buka shaum bareng.

* Memberi kesan positif tentang Allah dan kenalkan sifat-sifat baik Allah
Jangan mengatakan “ nanti Allah marah kalau kamu berbohong” tapi katakanlah “ anak yang jujur disayang Allah”.
* Beri teladan

Anak akan bersikap baik jika orang tuanya bersikap baik karena anak menjadikan orang tua model atau contoh bagi kehidupannya.

“hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”.(Q.S 61:2-3)

* Kreatif dan terus belajar

Sejalan dengan perkembangan anak. Anak akan terus banyak memberikan pertanyaan. Sebagai orang tua tidak boleh merasa bosan dengan pertanyaan anak malah kita harus dengan bijaksana menjawab segala pertanyaannya dengan mengikuti perkembangan anak.

2. Pendidikan Akhlak

Hadits dari Ibnu Abas Rasulullah bersabda:

“… Akrabilah anak-anakmu dan didiklah akhlak mereka.”

Rasulullah saw bersabda:

”Suruhlah anak-anak kamu melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah mereka kalau meninggalkan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud)

Bagaimana cara megenalkan akhlak kepada anak :

* Penuhilah kebutuhan emosinya

Dengan mengungkapkan emosi lewat cara yang baik. Hindari mengekspresikan emosi dengan cara kasar, tidak santun dan tidak bijak. Berikan kasih saying sepenuhnya, agar anak merasakan bahwa ia mendapatkan dukungan.

Hadits Rasulullah : “ Cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka …:” (H.R Bukhari)

* Memberikan pendidikan mengenai yang haq dan bathil

“Dan janganlah kamu campur adukan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui .”(Q.S 2:42)

Seperti bahwa berbohong itu tidak baik, memberikan sedekah kepada fakir miskin itu baik.

* Memenuhi janji

Hadits Rasulullah :”…. Jika engkau menjanjikan sesuatu kepada mereka, penuhilah janji itu. Karena mereka itu hanya dapat melihat, bahwa dirimulah yang memberi rizki kepada mereka.” (H.R Bukhari)

* Meminta maaf jika melakukan kesalahan
* Meminta tolong/ mengatakan tolong jika kita memerlukan bantuan.
* Mengajak anak mengunjungi kerabat

3. Pendidikan intelektual

Menurut kamus Psikologi istilah intelektual berasal dari kata intelek yaitu proses kognitif/berpikir, atau kemampuan menilai dan mempertimbangkan.

Pendidikan intelektual ini disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak. Menurut Piaget seorang Psikolog yang membahas tentang teori perkembangan yang terkenal juga dengan Teori Perkembangan Kognitif mengatakan ada 4 periode dalam perkembangan kognitif manusia, yaitu:

Periode 1, 0 tahun – 2 tahun (sensori motorik)

* Mengorganisasikan tingkah laku fisik seperti menghisap, menggenggam dan memukul pada usia ini cukup dicontohkan melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran atau ketika kita beraktivitas membaca bismillah.

Periode 2, 2 tahun – 7 tahun (berpikir Pra Operasional)

* Anak mulai belajar untuk berpikir dengan menggunakan symbol dan khayalan mereka tapi cara berpikirnya tidak logis dan sistematis.

Seperti contoh nabi Ibrahim mencari Robbnya.

Periode 3, 7 tahun- 11 tahun (Berpikir Kongkrit Operasional)

* Anak mengembangkan kapasitas untuk berpikir sistematik

Contoh : Angin tidak terlihat tetapi dapat dirasakan begitu juga dengan Allah SWT tidak dapat dilihat tetapi ada ciptaannya.

Periode 4, 11 tahun- Dewasa (Formal Operasional)

* Kapasitas berpikirnya sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan konsep

4. Pendidikan fisik

* Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang, memberi waktu tidur dan aktivitas yang cukup agar pertumbuhan fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas seperti yang disunahkan Rasulullah

“ Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang kuda.” (HR. Thabrani)

5. Pendidikan Psikis

“Dan janganlah kamu bersifat lemah dan jangan pula berduka cita, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. 3:139)

* Memberikan kebutuhan emosi, dengan cara memberikan kasih saying, pengertian, berperilaku santun dan bijak.
* Menumbuhkan rasa percaya diri
* Memberikan semangat tidak melemahkan

1.3.Definisi Pendidikan Menurut Perspektif Nasional

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.

Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB II

TUJUAN PENDIDIKAN

2.1. Tujuan Pendidikan Pancasila

Rumusan formal konstitusional dalam UUD 1945 maupun dalam GBHN dan Undang-Undang Kependidikan lainnya yang berlaku adalah tujuan normative GBHN 1983 merumuskan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut :

“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan tarhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan , mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa

(A. Yunus, 1998 : 165)

2.2. Tujuan Umum Pendidikan Manusia

a. Hakikat manusia menurut Islam

Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.

Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi)

Manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok, manusia yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :

“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “

b. Manusia Dalam Pandangan Islam

Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup didunia.

Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal tidak hanya satu macam. Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :

1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”

2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”

3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia”.

4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”

5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.

6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :

“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.

7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :

“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.

Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :

“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.

3. Manusia Sempurna Menurut Islam

– Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan

Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani, karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan pembelaan Islam.

Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu ketrampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.

Para pendidik Muslim sejak zaman permulaan – perkembangan Islam telah mengetahui betapa pentingnya pendidikan keterampilan berupa pengetahuan praktis dan latihan kejuruan. Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat 37 :

“Dan buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan ditenggelamkan”.

– Cerdas Serta Pandai

Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai di tandai oleh banyak memiliki pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat melalui indikator-indikator sebagai berikut :

a) Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.

b) Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.

c) Rohani yang berkualitas tinggi.

Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.

Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan iman itu, menurut al Qur’an tempatnya didalam kalbu.

2.3. Tujuan Pendidikan Islam (Khusus)

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :

“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.

Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.

Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.

2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.

3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi

1. Pembinaan akhlak.

2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.

3. Penguasaan ilmu.

4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.

Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :

1. Tujuan keagamaan.

2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.

3. Tujuan pengajaran kebudayaan.

4. Tujuan pembicaraan kepribadian.

Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :

1. Bahagia di dunia dan akhirat.

2. menghambakan diri kepada Allah.

3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.

4. Akhlak mulia.

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa tujuan pendidikan islam pada intinya adalah :

terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

Wallahu A’lam Bish-shawab

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2001

Nur Uhbiyati., Ilmu Pendidikan Islam., CV. Pustaka Setia., Bandung, 1998

Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000

Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997

Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.

Tilaar, Prof. Dr., 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung

H. A. Yunus, Drs., S.H., MBA. Filsafat Pendidikan, CV. Citra Sarana Grafika. Bandung. 1999.

PENTINGNYA PENDIDIKAN ISLAM

I. Pendahuluan

Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk mengenalkan Islam ini diutus Rasulullah SAW. Tujuan utamanya adalah memperbaiki manusia untuk kembali kepada Allah SWT. Oleh karena itu selam kurang lebih 23 tahun Rasulullah SAW membina dan memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT.

Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.

Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)

Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.

Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang beakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”

Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”

Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.

II. Pentingnya Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tak heran bila kini pemerintah mewajibkan program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi pandai dan beradab. Pendidikan juga merupakan metode pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan.

Pendidikan Islam memiliki 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu: tilawah (membacakan ayat Allah), tazkiyah (mensucikan jiwa) dan ta’limul kitab wa sunnah (mengajarkan al kitab dan al hikmah). Pendidikan dapat merubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik disebabkan pendidikan mempunyai kelebihan. Pendidikan mempunyai ciri pembentukan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan apa yang telah dipelajarinya, pengembangan atas ilmu yang diperolehnya dan agar tetap pada rel syariah. Hasil dari pendidikan Islam akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang kuat serta banyak beramal.

Pendidikan Islam berpadu dalam pendidikan ruhiyah, fikriyah (pemahaman/pemikiran) dan amaliyah (aktivitas). Nilai Islam ditanamkan dalam individu membutuhkan tahpan-tahapan selanjutnya dikembangkan kepada pemberdayaan di segala sektor kehidupan manusia. Potensi yang dikembangkan kemudian diarahkan kepada pengaktualan potensi dengan memasuki berbagai bidang kehidupan. (QS. Ali Imran (3) : 103)

Pendidikan yang diajarkan Allah SWT melalui Rasul-Nya bersumber kepada Al Qur’an sebagai rujukan dan pendekatan agar dengan tarbiyah akan membentuk masyarakat yang sadar dan menjadikan Allah sebagai Ilah saja.

Kehidupan mereka akan selamat di dunia dan akhirat. Hasil ilmu yang diperolehnya adalah kenikmatan yang besar, yaitu berupa pengetahuan, harga diri, kekuatan dan persatuan.

Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah agar manusia memiliki gambaran tentang Islam yang jelas, utuh dan menyeluruh.

Interaksi di dalam diri ini memberi pengaruh kepada penampilan, sikap, tingkah laku dan amalnya sehingga menghasilkan akhlaq yang baik. Akhlaq ini perlu dan harus dilatih melalui latihan membaca dan mengkaji Al Qur’an, sholat malam, shoum (puasa) sunnah, berhubungan kepada keluarga dan masyarakat. Semakin sering ia melakukan latihan, maka semakin banyak amalnya dan semakin mudah ia melakukan kebajikan. Selain itu latihan akan menghantarkan dirinya memiliki kebiasaan yang akhirnya menjadi gaya hidup sehari-hari.

III. Kesinambungan dalam Pendidikan Islam

Pendidikan Islam dalam bahasa Arab disebut tarbiyah Islamiyah merupakan hak dan kewajiban dalam setiap insan yang ingin menyelamatkan dirinya di dunia dan akhirat. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai akhir hayat.” Maka menuntut ilmu untuk mendidik diri memahami Islam tidak ada istilah berhenti, semaki banyak ilmu yang kita peroleh maka kita bertanggung jawab untuk meneruskan kepada orang lain untuk mendapatkan kenikmatan berilmu, disinilah letak kesinambungan.

Selain merupakan kewajiban, kegiatan dididik dan mendidik adalah suatu usaha agar dapat memiliki ma’dzirah (alasan) untuk berlepas diri bila kelak diminta pertanggungjawaban di sisi Allah SWT yakni telah dilakukan usaha optimal untuk memperbaiki diri dan mengajak orang lain pada kebenaran sesuai manhaj yang diajarkan Rasulullah SAW.

Untuk menghasilkan Pendidikan Islam yang berkesinambungan maka dibutuhkan beberapa sarana, baik yang mendidik maupun yang dididik, yaitu:

1. Istiqomah

Setiap kita harus istiqomah terus belajar dan menggali ilmu Allah, tak ada kata tua dalam belajar, QS. Hud (11) : 112, QS. Al Kahfi (18) : 28

2. Disiplin dalam tanggung jawab

Dalam belajar tentu kita membutuhkan waktu untuk kegiatan tersebut. sekiranya salah satu dari kita tidak hadir, maka akan mengganggu proses belajar. Apabila kita sering bolos sekolah, apakah kita akan mendapatkan ilmu yang maksimal. Kita akan tertinggal dengan teman-teman kita, demikian pula dengan guru, apabila ia sering membolos tentu anak didiknya tidak akan maju karena pelajaran tidak bertambah.

3. Menyuruh memainkan peran dalam pendidikan

Setiap kita dituntut untuk memerankan diri sebagai seorang guru pada saat-saat tertentu, memerankan fungsi mengayomi, saat yang lainnya berperan sebagai teman. Demikiannya semua peran digunakan untuk memaksimalkan kegiatan pendidikan.
Referensi :

1. Tarbiyah Islamiyah Harokiyah, DR. Irwan Prayitno
2. Tarbiyah Menjawab Tantangan, Mahfudz Siddiq

Pendidikan Islam 1

Benarkah apa yang dinyatakan oleh Ajip Rosidi di atas? Bila benar, apa sebenarnya yang masih diwarisi oleh sistem pendidikan nasional dari sistem pendidikan kolonial? Apa indikasinya? Dan yang terpenting, apa yang musti dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang carut marut itu? Perombakan total seperti apa — mengikuti saran Ajip — yang harus dilakukan?

Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik, maka seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan mempersoalkan hal yang lebih mendasar — yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekular-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.

Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan, atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pendidikan Sekuler Bagian dari Kehidupan Sekuler

Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Solusi Fundamental

Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru di mana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.

Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; dan, (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.

Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.

Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.

Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi Pada Tataran Paradigmatik

Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.

Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Solusi Pada Tataran Strategi Fungsional

Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus, dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.

Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas — seperti tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen. (Aliya)

TABLE MANNER

makanan di meja buffet dengan mencampur semua jenis hidangan dalam satu dinner plate, atau seseorang menyantap hidangan utama menggunakan soup spoon, atau seseorang meninggalkan meja makan sebelum yang lainnya selesai menikmati makanan, orang bersendawa selagi berada di meja makan dan kejadian-kejadian “lucu” lainnya.Untuk menghindari hal lucu tersebut, kita perlu mengetahui sopan santun di meja makan yang secara umum dikenal dengan table manner. Pengetahuan tentang table manner harus didahului dengan pemahaman tentang menu, table setting dan table cover yang ketiganya saling berkaitan. Menu adalah daftar makanan atau hidangan yang tersedia atau disajikan saat itu. Pada dasarnya hidangan yang tersaji berdasarkan menu skeleton (kerangka menu) yang susunan sebagai berikut:

(1) Appetizer/starter sebagai hidangan pembuka, berfungsi sebagai pembangkit selera makan. Sesuai fungsinya jenis makanan ini jumlahnya sedikit dengan rasa asam, asin atau pedas
(2) Soup yang masih termasuk dalam katagori makanan pembuka;
(3) Main course yaitu makanan atau hidangan utama dan
(4) Dessert sebagai hidangan penutup. Menurut sifat dan karakternya menu dapat dibedakan menjadi dua macam, Table D’hote Menu dan A’la Carte Menu. Menu pertama memiliki sifat dan ciri-ciri:
(a) jumlah dan macam hidangannya mulai dari appetizer sampai dessert;
(b) biasanya hanya ada satu pilihan untuk masing-masing hidangan;
(c) mempunyai satu harga yaitu harga total untuk seluruh hidangan dan
(d) hidangan sudah (selesai) dimasak sebelumnya. Misalnya: rujak sebagai Appetizer, Soup nya Soto Madura,Main Course terdiri dari SEMUR DAGING, NASI PUTIH, URAP SAYUR, KERUPUK UDANG dan SAMBAL serta KOLAK PISANG sebagai dessert. Menu ke dua adalah A’la Carte Menu, dengan sifat dan ciri-cirinya:
(a) jumlah dan macam hidangannya tidak terbatas,
(b) terdapat banyak pilihan untuk masing-masing hidangan,
(c) masing-masing hidangan mempunyai harga tersendiri,
(d) hidangan disiapkan (dimasak) berdasarkan pesanan tamu.Table setting adalah persiapan meja makan secara keseluruhan, sedangkan table cover adalah persiapan atau pemasangan peralatan makan (cutlery) di atas meja makan untuk keperluan seorang tamu berdasarkan atas jumlah dan jenis makanan yang akan dihidangkan. Cutlery tersebut terdiri dari: sendok, garpu dan pisau makan; glasswere, seperti gelas minum; serta lena lap makan. Selain peralatan tersebut, umumnya di atas meja makan akan dijumpai adanya persiapan: garam, merica, tempat abu rokok, vas bunga dan nomor meja.Sesuai dengan sifat dan karakter menu table cover terbagi menjadi dua macam, yaitu:
(a) table d’hote cover (lengkap), dimana jumlah dan jenis peralatan makan yang dipasang disesuaikan dengan jumlah dan jenis makanan yang akan dihidangkan;
(b) a la carte cover (terbatas), peralatan makan yang dipasang hanya terdiri dari peralatan yang dibutuhkan untuk appetizer serta gelas minum dan lap makan (guest napkin). Peralatan tersebut dapat diganti atau dilengkapi dengan peralatan lainnya yang diperlukan bersamaan dengan dihidangkannya makanan yang dipesan

Future of Islamic Education

Over 150 scholars, officials, teachers and international donors will work together over the next two days in Jakarta to develop strategies to “bridge the gap” between Islamic and general schools in Indonesia.
The International Symposium on Islamic Education was today opened by Ministry of Religious Affairs Secretary General, Professor Bahrul Hayat, and Australian Ambassador to Indonesia, Bill Farmer, at Jakarta’s UIN Syarif Hidayatullah.
Professor Hayat said he hoped the symposium would generate a number of practical ways to “help bridge the gap between Islamic schools and general schools in Indonesia”. He said the forum would bring together a number of qualified Indonesian and international scholars to share their experiences and their ideas for taking Islamic education forward.
Issues to be discussed include ways to improve the quality of teaching and learning in Islamic schools and the role of Islamic schooling in the Indonesian Government’s plan for national education.
Another focus issue is how to implement the Grand Design for Nine Years of Basic Education in Indonesia , a strategy prepared jointly by the Ministry of National Education and Ministry of Religious Affairs earlier this year, and the potential progress to be achieved under the strategy by 2025.
Mr Farmer said he hoped the symposium would help stimulate real debate among officials, practitioners, scholars and donors on how to better shape and strengthen the Islamic education system.
“These issues are critical for Indonesia’s future, given the important role Islamic schools play in this country,” Mr Farmer said.
The Grand Design notes that Islamic schools provide basic education to more than 20 per cent of Indonesian children and more than 25 per cent of women. The largely autonomous network of Islamic schools is the longest existing education system in Indonesia.
The 24-25 July symposium is a joint initiative of the Ministry of Religious Affairs and the Australian Government, through its international development agency, AusAID.
The event – the Basic Education in Islamic Schools in Indonesia: Bridging the Gap – Vision 2025 Symposium – is being funded under a five-year A$30 million (IDR 225 billion) Australian Government program (LAPIS), which aims to improve the quality of basic Islamic education in Indonesia.